Hutang Tidak Membuat Miskin

Hutang Tidak Membuat Miskin


Selama saya hidup dan beranjak dewasa, ada begitu banyak orang-orang dengan masalahnya yang kebetulan saya dengar atau ketahui dan diantara mereka pun ada yang berkeluh kesah tentang masalahnya dengan saya. Dan itu sangat wajar terjadi. Dimanapun itu.

Ada beberapa hal yang kemudian saya tarik benang merah untuk dipelajari dari kasus-kasus mereka yang dalam hal ini terkait dengan keuangan dan perintilannya. 

Hutang

Kita tidak perlu mendefinisikan apa itu hutang piutang karena bahkan itu sudah menjadi hal wajari dalam keseharian kita dimanapun kita tinggal. Cuma memang, ada banyak jenis hutang yang mungkin perlu kita pelajari supaya tidak terjebak.

Tapi tidak akan saya bahas dalam tulisan ini secara lengkap, hanya pengetahuan umum saja yang memang biasa kita temui di lingkungan kita tinggal.

Sedari kecil dulu, saya selalu diingatkan oleh ayah saya perihal hutang. Beliau berpesan untuk jangan sekali-kali mencoba hutang, karena itu bukan hal baik dan mempersulit hidup dan bahkan membuat ketagihan, katanya. 

Menurutnya lagi, jika belum mampu maka tahan dulu dan berusaha lebih keras, jangan memaksakan dengan cara berhutang, karena sekecil apapun hutang tetap hutang dan harus dibayar sesuai dengan perjanjian. 

Dan pesan itu masih saya pegang hingga saat ini meskipun kemarin sempat kebobolan juga ambil kredit hehe. 

Tapi yasudah, sudah selesai dengan lancar, dan tidak ingin lagi. 

Menurut ayah saya, hutang itu mempersulit hidup, apa betul begitu ?

Ada beberapa jenis hutang seperti yang saya singgung diatas, tapi ada satu jenis hutang ini yang sering sekali saya temui di lingkungan saya yang hingga saat ini masih tidak saya lihat juga perkembangannya. 

Hutang Konsumtif

Ini merupakan jenis hutang yang sering sekali saya lihat di lingkungan sekitar dan bahkan diluaran sana yang pada akhirnya menjerat si penghutang dengan cicilan yang tidak mampu mereka bayar. 

Aneh memang, apa yang mereka pikirkan hingga berani berhutang untuk kebutuhan yang tidak menghasilkan dan bagaimana cara mereka menghitung keuangan serta menyusun rencana ? 

Kredit Motor

Contohnya, kredit motor untuk sekolah anak. Ini yang sering sekali terjadi. Padahal anaknya masih SMP yang sudah sangat melanggar peraturan berkendara dengan batasan usia minimal 17 tahun.

Biasanya si anak ini terpengaruh lingkungan pergaulan yang memang masing-masing punya motor. Ditambah lagi biasanya ada pengaruh gengsi yang tinggi dari si anak yang gak tau diri ini. 

Lalu dibelikanlah motor oleh orang tua yang juga tidak tau diri dengan cara kredit. Anak yang tidak tau diri biasanya lahir dari orang yang tidak tau diri juga. Ini pengaruh genetik turunan. 

Nah motor yang digunakan anaknya ini kan sama sekali tidak produktif, malahan cuma dipakai buat gaya-gayaan doang dan malah di modifikasi jadi motor aneh gak jelas. 

Sementara orang tuanya ini harus mencari cara untuk bayar cicilan setiap bulan dengan bunganya yang biasanya 30% dari harga total yang tidak sedikit. Konyol sekali kan ? 

Kerja pontang panting supaya bisa bayar cicilan dan menghindari denda serta ada alasan yang menurut saya lebih miris lagi, yakni tidak ingin motor yang dibelinya itu dicabut leasing karena telat setor dan alasan dari tidak ingin itu terjadi adalah karena malu sama tetangga. Waah

Memang sudah dari mentalnya sih kacau sedari awal, bahkan sebelum si anak ini lahir. 

Kredit Mobil ?

Ada sih, bahkan belum lama ini saya mendengar kasus itu yang berakhir tragis. Mobil yang masih cicilan nyemplung ke got dan kemudian mobil terpaksa ditarik leasing lantaran gagal bayar.

Memang ada banyak alasan orang memilih untuk kredit mobil yang saya pikir pada umumnya untuk kepentingan usaha yang artinya bukan untuk kepentingan konsumtif dan justru mobil tersebut menjadi aset yang memiliki return yang cukup untuk melunasi cicilan. 

Dan jika ada orang yang ambil cicilan mobil cuma untuk bergaya sih saya gak tau seaneh apa pola pikirnya. 

Kredit Panci

Biasanya ibu-ibu nih, termasuk ibu saya. Kredit panci kukus yang di brosurnya bisa buat bikin bolu kukus lengkap dengan cetakan bolunya. Dan sejauh saya tinggal dengan ibu saya, saya tidak sekalipun menemukan ibu saya membuat bolu kukus. Yang artinya panci tersebut cuma disimpan dan tidak digunakan sama sekali. 

Saya sendiri tidak paham mengapa beli panci yang bahkan tidak ingin digunakan, apalagi dengan cara kredit yang pastinya lebih mahal dari harga aslinya. 

Kemarin saya jual ke loak cetakan bolunya, entah nanti ngomel atau tidak belum ketauan. Ibu saya masih diluar kota hingga beberapa waktu ke depan.

Jika saja pun digunakan, kredit panci untuk hal-hal yang bukan harian juga sama sekali tidak efektif karena memang tidak dibutuhkan. 

Lalu bagaimana kalau panci itu memang dibutuhkan dan digunakan harian seperti memasak air minum ? Ya jangan kredit, lagian berapa sih harga panci ? Kan tidak masuk akal.

Kredit Rumah

Ini juga saya sempat pikirkan akhir tahun lalu. Pinjam uang di bank untuk membangun rumah yang mungkin butuh dana tidak sedikit dan saya baru saja selesai dengan cicilan sebelumnya dan tidak ingin punya cicilan lagi. Alhasil saya batalkan.

Namun ada banyak orang yang memang membangun rumah dengan bermodal hutang di bank atau koperasi. Yang secara nalar menurut saya itu tidak masuk akal. 

Rumah ? Itu betul-betul bukan prioritas jika memang tidak memiliki dana. 

Tapi biasanya ada begitu banyak tekanan lingkungan yang akhirnya memaksa seseorang atau pasangan untuk memaksakan diri membangun atau membeli rumah alih-alih sewa. Karena memang, "Ngontrak" dipandang hina bagi sebagian kalangan yang saya sendiri tidak tau persis apa dasar alasannya. 

Akhirnya, karena terpaksa harus mengikuti aturan orang-orang, hutang menjadi pilihan untuk sesegera mungkin membangun atau membeli rumah. Bahasa yang selalu digunakan sebagai pembelaan biasanya berbunyi "Belajar mandiri". Hilih

Pada akhirnya, mengeluh dikejar cicilan yang tidak bisa libur. Karena kalau libur berarti ya denda menanti dan bahkan bunga dan denda nya pun berbunga. 

Jadi mau tidak mau harus dibayar dengan cara apapun. Dan ketika mentok kemudian berhutang untuk menutup cicilan. Semakin kacau kan ?

Banyak yang begitu. Entah cara pikir seperti apa yang mereka gunakan sampai bisa terjebak dalam situasi seperti itu. Apalagi, biasanya ketika berhutang mereka memilih yang tanpa survey atau minta bantuan sales gimanapun caranya supaya dana cair. 

Bagi sales, mereka akan mengusahakan segala cara supaya pinjaman di acc karena mereka mendapat komisi dari itu. Resiko kedepan ya urusan nasabah yang bersangkutan. 

Dengan cara begitu, artinya mereka memulai sesuatu dengan tidak jujur dan dengan cara yang tidak baik. Dan biasanya berujung dengan tidak baik pula. Dan biasanya juga, si penghutang ini tidak peduli dengan bunyi kontrak, yang penting dana cair dan bisa segera bangun rumah. 

Semengerikan itu kan ?

Belum berhenti sampai disitu. Ada satu alasan lain yang belum lama ini saya dengar dari salah satu nasabah yang masih terkait dengan pesan ayah saya.

Kecanduan Hutang

Orang yang sedang terjerat cicilan biasanya akan melakukan segala macam cara untuk bisa membayar cicilan. Kerja lebih getol dan pinjam sana sini yang penting cicilan terbayar. 

Dan parahnya adalah, jangankan untuk bayar pinjaman baru yang buat bayar cicilan, cicilan bulan depan pun tiba-tiba sudah hampir jatuh tempo dan masih belum ada uang juga buat bayar. 

Mencari pinjaman baru adalah solusi tercepat dan terbaik. Itu yang mereka pikirkan. 

Akhirnya, cicilan masih ada, hutang dimana-mana dan semuanya tidak terbayar. 

Kepala puyeng dan kerja pun jadi tidak beres.

"Hey kalau pinjaman di bank bukannya bisa ambil libur dan tanpa denda ?"

"Gak bisa begitu, nanti kena blacklist di BI checking, dan gak bisa pinjam lagi".

Itu contoh jawaban yang saya dengar. Yang hmm menurut saya cukup mengerikan. 

Bagus dong menurut saya, dengan begitu tidak ada lagi pikiran untuk berhutang atau mengajukan pinjaman karena semua lembaga sudah tidak akan mencairkan dana pinjaman mengingat namanya sudah masuk daftar hitam. 

Namun rupanya tidak begitu. Ini sering sekali saya dengar.

Dengan masuk ke daftar hitam, maka nanti kedepannya sulit untuk bahkan tidak bisa untuk melakukan pinjaman di lembaga keuangan manapun baik bank maupun koperasi atau leasing. Tidak bisa ambil motor dll yang itu akan mempersulit perjalanan kedepan. 

Wah ... wah ... wah.

Bahkan cicilan saat ini saja masih mencekik, sudah mengagendakan untuk mengambil cicilan di masa depan. Bukannya berpikir terlepas dengan segera dan menata masa depan lebih baik, malah masih mau ngulangin kerepotan yang sama. Bukankah itu tidak masuk akal ?

Apa yang mereka pikirkan ?

Dan kasus seperti itu sudah sangat lama saya dengar dan terbukti memang, orang-orang yang bermasalah ini hidupnya masih seperti itu hingga sekarang. Terjerat cicilan dan mungkin masih merencanakan pinjaman di kemudian hari. 

Bahkan yang saya tangkap, mereka ini selalu berpikir bahwa untuk memulai usaha pasti butuh modal dan modal itu hanya tersedia di lembaga keuangan. Satu-satunya cara adalah dengan meminjam modal usaha yang padahal belum ada sama sekali di benak mereka "Usaha" apa yang ingin mereka bangun dan berapa modal yang dibutuhkan. Intinya, semua itu sudah tertanam dan mengakar kokoh di dalam benak mereka. 

Dan tidak ada cara untuk mencabutnya, bahkan diri mereka sendiri tidak menyadari akan hal itu.